Berawal
dari Cinta
Cinta
adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan
anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna. Dengan anugerah cinta,
manusia akan mampu menjalankan perannya sebagai wakil Allah di muka bumi, sebagai
pendakwah sekaligus sebagai hamba Allah.
Seorang
Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah
SAW. Ketika sudah dekat, dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu
bertanya, Kapankah kiamat terjadi? Nabi tidak menjawab, karena shalat
sudah hampir ditunaikan.
Ucapan
takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Alquran beliau
senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh penghayatan. Tetes-tetes air
mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam
limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika
shalat telah selesai dilaksanakan, dengan lembut penuh wibawa, Rasulullah saw.
bersabda, Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat? Orang itu
segera menjawab, Saya, wahai Rasulullah. Nabi balik bertanya, Apa
yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?
Sejenak,
majelis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap, Saya tidak
mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, Engkau akan
bersama dengan orang yang kau cintai.
Sungguh
luar biasa ungkapan Rasulullah SAW ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga
menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, Wahai Rasulullah,
apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja? Rasulullah SAW menjawab, Tidak,
ucapanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian.
Kegembiraan segera menyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di
majelis itu, hingga Anas bin Malik berujar, Aku belum pernah melihat kaum
Muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti
bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi SAW tersebut.
Simpulannya,
betapa besar konsekuensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa,
namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan
begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW sendiri menjanjikan
kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal, boleh jadi, ibadah orang
ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat
sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi
luar biasa, dan membuat sesuatu yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya,
cinta bukan sekadar kata sifat, namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis,
cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan
kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri sampai akhirnya dahaga cinta itu
terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana.
Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan, dan
janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah SAW berani menjanjikan
pahala yang menggiurkan kepadanya.
Sekali
lagi, cinta menimbulkan serangkaian konsekuensi. Ketika seseorang telah
menyatakan cinta dan berkomitmen dengan cinta, maka segala tingkah lakunya akan
berjalan di jalur cinta tersebut. Jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang
dicintainya. Bukankah seorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan
dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintai itu menjadi ridha kepadanya?
Cinta
adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan
anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS Ali Imran [3]: 14).
Dengan anugerah cinta, manusia akan mampu menjalankan perannya sebagai wakil
Allah di muka bumi, sebagai pendakwah sekaligus sebagai hamba Allah. Dengan
anugerah cinta pula, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi
dengan lapang dada, bahkan senyuman yang mengembang.
Lalu,
apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, Tidak ada batasan
cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan
menambah kabur dan kering maknanya. Maka, batasan dan penjelasan cinta tersebut
tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu
sendiri. Walau demikian, sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa
dimaknai. Di antara makna cinta adalah kecenderungan seluruh hati yang
terus-menerus (kepada yang dicintai). Bisa pula kesediaan hati menerima segala
keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan
yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Kita coba
analisis ungkapan cinta Arab Badui tadi dari sudut pandang Erich Fromm, seorang
psikolog kenamaan berkebangsaan Jerman. Dalam bukunya The Art of Love, Erich
Fromm menyebutkan empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu:
1. Care
(perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita
mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapinya,
akan berusaha meringankan bebannya, dan memberikan perhatian yang tinggi atas
setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya,
kita akan berusaha memberikan perhatian lebih kepada semua hal yang diridhai
dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah
saw. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya
kepada Allah dan Rasulullah.
2.
Responsibility (tanggung jawab).
Cinta harus melahirkan sikap bertanggung jawab terhadap objek yang dicintai.
Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya,
akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya.
Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab dan
mendedikasikan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya.
Sama halnya dengan orang yang mencintai Tuhan dan Rasul-Nya, ia pun akan
bertanggung jawab dan mendedikasikan segenap potensi dirinya untuk membahagiakan
objek yang dicintainya. Itulah responsibility.
3. Respect
(hormat)
Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai dan selalu
berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. Dalam
konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari
prinsip sami’na wa attha’na, mendengar dan taat. Jika itu disukai Allah dan
dicontohkan Rasulullah, maka ia akan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia
yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa
depannya.
4.
Knowledge (pengetahuan)
Cinta harus
melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Ketika kita
mencintai seorang yang akan menjadi teman hidup, kita akan berusaha memahami
kepribadian, latar belakang, keluarga, minat, dan kualitas keimanannya. Ketika
kita mencintai Allah dan Rasulullah, maka kita pun akan berusaha mencari tahu
siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca, mendengar,
menelaah, dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad saw. Tentu tidak
sekadar untuk tahu saja, tapi juga paham sehingga berbuah ketaatan.
Empat
komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri di hati para sahabat. Efek yang
ditimbulkannya begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mampu
melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya,
dari kebencian menuju kasih sayang, dari kejahilan menuju hidayah, dan dari
kemunduran menuju kemajuan. Semoga kita mampu meneladani mereka. Amin.